Latest Entries »

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN INFARK MIOKARD AKUT

1. Pendahuluan;
IMA. Merupakan penyebab kematian tersering di AS. Di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir IMA. Lebih sering ditemukan, apalagi dengan adanya fasilitas diagnostik dan unit-unit perawatan penyakit jantung koroner intensif yang semakin tersebar merata. Gambaran distribusi umur, georafi, jenis kelamin dan faktor resiko IMA. Sesuai Angina Pektoris atau Penyakit Jantung Koroner pada umumnya.

2. Pengertian
IMA. Adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu( S. Harun.1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi ke3. )
3. Penyebabnya:
a. Coronary Arteri disease.
b. Coronary Arteri Emboli
c. Kongenital.. ( anomali arteria coronary )
d. Imbalans Oksigen suplay dan demand miokard
e. Gangguan Hematologi.
4. Diagnosa IMA. Menurut WHO.( 1997 )
Apabila memenuhi dua dari tiga kriteria :
1). Adanya riwayat nyeri dada yang khas.yaitu :
a.Lokasi nyeri dada dibagian dada depan ( bawah sternum ) dengan/tanpa penjalaran , kadang berupa nyeri dagu, leher atau seperti sakit gigi, penderita tidak bisa menunjuk lokasi nyeri dengan satu jari, tetapi ditunjukan dengan telapak tasngan.
b.Kwalitas nyeri, rasa berat seperti ditekan atau rasa panas seperti terbakar.
c.Lama nyeri bisa lebih dari 15 detik sampai 30 menit.
d.Penjalaran bisa kedagu, leher, lengan kiri, punggung dan epigastrium.
e. Kadang disertai gejala penyerta berupa keringat dingin, mula, berdebar atau sesak.
f.Sering didapatkan faktor pencetus berupa aktiovitas fisik, emosi/stress atau dingin.
g.Nyeri kadang hilang dengan istirahat atau dengan pemberian nitroglyserin sublingual.
2.) Adanya perubahan EKG. Berupa :
a.Gelombang Q.( significant infark )
b.Segmen ST ( elevasi )
c.Gelombang T ( meninggi atau menurun )
Infark: ST. segmen dan gelombang T dapat kembali normal, perubahan gelombang Q tetap ada ( Q Patologi )

3.) Kenaikan Enzim otot Jantung :
a. CKMB. Merupakan enzim yang spesifik untuk marker kerusakan otot jantung , enzim ini meningkat 6-10 jam setelah nyeri dada dan kembali normal dalam 48-72 jam.
b. Walaupun kurang spesifik Aspartate Amino Transferase ( AST ) dapat membantu bila penderita datang ke rumah sakit sesudah hari ke 3 dari nyeri dada atau laktat dehydrogenase ( LDH ) akan meningkat sesudah hari ke empat dan menjadi normal sesudah hari ke sepuluh,
c. Hal yang sedang dikembangkan dan dianggap cukup sensitif dan spesifik adalah pemeriksaan Troponin T., yaitu suatu kompleks protein yang terdapat pada filamen tipis otot jantung .Troponin T. akan terdeteksi dalam darah beberapa jam sampai 14 hari setelah nekrosis miokard.
5. Patofsiolofgi:
a. Atherosklerosis
b. Spasme Arteri Coronaria Ischemia Infark Miokard
c. Thrombosis

Kontraktilitas Miocardial Anaerobic Pelepasan Gangguan Repolarisasi
Iritability Glikolisis Enzym Miokard

Dysritmia Produksi CK. MB. Perubahan EKG.
VF. SVT Asam Laktat LDH. ST.Q Wave.

ANGINA

Stimulasi/sistem syaraf simpatis Penurunan Fungsi Ventrikel Kiri

Heart rate Demand O² Afterload Preload Cardiac Output

Vasokontriksi CVP.
Perifer PCWP Blood Pressure

Stimulus Simpatis Shock/Mati

6. Tujuan Managemen Medis :
a.Membatasi ukuran infark.
b.Menurunkan nyeri dan kecemasan
c.Mencegah aritmia dan komplikasi.
7. Pengobatan :
a.Membatasi ukuran myokard infark:
-meningkatkan suplay darah dan oksigen ke myokard.
-menurunkan Oksigen demand Myokard.
B Penanganan nyeri:
-Morphin Sulfat:
-Menurunkan aktivitas SSO ( penurunan konsumsi O² miokard )
– Mendilatasi vena dan kapiler ( penurunan preload,penurunan afterload)
– Penurunan konsumsi O²myokard.
-Menurunkan Heart Rate penurunan konsumsi O² myokard.
-Nnitroglyserin ( veno dilatasi perifer dan coroner )
c. Terapi Oksigen
d. .Pembatasan Aktivitas Fisik.
e. .Terapi antikoagulan ( Heparin menghentikan dan memperlambat pembentukan thrombus )
f. .Revaskularisasi ( PTCA. CABG )
g. .Rehabilitasi Cardiac( untuk mencapai dan mempertahankan kesehatan yang optimum )

8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian :
– Aktivitas( gejala : kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap, jadwal olah raga tak teratur )
– ( Tanda ; takhikardia, dispnoe pada istirahat/aktivitas )
– Sirkulasi ( gejala: Infark Myokard sebelumnya, penyakit arteri koroner, PJK. DM.)
– Tanda : TD. Dapat normal atau naik turun, perubahan postural dicatat, dari tidur sampai duduk/berrdiri. Nadi: dapat normal, inadekuat, penuh, atau lemah, pengisian kapiler lambat / tidak teratur.
– Bunyi jantung ekstra S3 / S4, mungkin menunjukan gagal jantung / penurunan kontraktilitas .
– Murmur: menunjukan bila terjadi gagal katup
– Irama Jantung teratu/tidak teratur.
– Edema ( distensi venajugular, edema ferifer, edema umum,
– Warna : pucat atau sianosis/kulit abu-abu, kuku datar, pada membran mukosadan bibir.
– Integritas Ego ( Gejala :Klien menyangkal, takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit /perawatan yang tak perlu, kuatir tentang keluarga, kerja dan keuangan )
– Tanda : menolak, menyangjkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku menyerang, fokus pada diri sendiri)
– Eliminasi ( normal atau bunyi usus menurun )
– Makanan/cairan : ( gejala: mual, kehilangan nafsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar)
– Tanda ( Penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, perubahan berat badan )
– Higiene: kesulitan melakukan tugas perawatan.
– Neurosensori : ( gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun, duduk atau istirahat)
– Tanda: perubahan mental atau kelemahan.
– Ketidaknyamanan( Gejala : nyeri dada yang timbulnya mendadak, dapat/tidak berhubungan dengan aktivitas tidak hilang dengan istirahat atau nitroglyserin , lokasi tipikal pada dada anterior, substernal, perikordia, dapat menyebar ke tangan, rahang, atau wajah. Kualitas : berat,menetap, tertekan. )
– Tanda : wajah meringis, perubahan postur tubuh, menangis, merintih, meregang, menggeliat, menarik diri, kehilangan kontak mata, respon otomatik : perubahan frekuensi/irama jantung TD. Pernafasan, warna kulit, kelembaban, kesadaran.)
– Pernafasan ( gejala : dispnoe dengan/tanpa aktivitas ,dispnoe nokturnal , batuk dengan/tanpa produksi sputum. Riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis )
– Tanda ( Peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak, pucat atau sianosis, bunyi nafas bersih/mengi/krekels, sptum bersih, merh muda kental.)
– .Interaksi sosial ( gejala : stress karena keluarga,pekerjaan ekonomi , kesulitan koping dengan stressor yang ada ,misal;penyakit, perawatan di rumah sakit )
– Tanda ( kesulitan istirahat dengan tenang, respon terlalu emosi, marah terus menerus, takut, menarik diri dari keluarga)
9. Kemungkinan Diagnose Keperawatan yang muncul :
a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri koroner
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbanmgan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan.
c. Ansietas berhubungan dengan ancaman atau perubahan kesehatan.
d. Resiko tinggi menurunnya curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuenasi, irama, konduksilektrikal
e. Resiko tinggi terhadap kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan ferfusi organ.
10. Rencana Keperawatan
Diagnosa Tujuan- Kriteria Intervensi Rasinal
Nyeri akut b/d iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri koroner. Tujuan :
Nyeri dada hilang/terkontrol
Kriteria:
Klien menyatakan nyeri dada hilang /berkurang
Mendemonstrasikan tehnik penggunaan relaksasi.
Klien terlihat rileks. Catat karakteristik nyeri, lokasi, intensitas, lamanya dan penyebaran.

Anjurkan kepada klien untuk melaporkan nyeri dengan segera
Berikan lingkungan yang tenang, aktivitas perlahan dan tindakan nyaman, dekati pasien, berikan sentuhan.
Bantu melakukan tehnik relaksasi.

Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal atau masker sesuai dengan indikasi

Kolaborasi :
Berikan obat sesuai dengan indikasi :
Antiangina ( nitroglyserin,)

Penyekat 8 ( contoh, atenolol ,Tonormin, pindolol, ( Visken ) propanolol ( inderal )

Analgesik, contoh morphin meperidin ( demerol

Penyekat saluran kalsium contoh, verafamil, ( calan )diltiazem ( prokardia )
Variasi pemampilan dan perilaku pasien karena nyeri terjadi sebagai temuan pengkajian.
Nyeri berat dapat menyebabkan syok.

Menurunkan rangsanh eksternal,

Membantu dalam penurunan persepsi respon nyeri
Meningkatkan jumlah oksigen yang ada untuk pemakaian miokard sekaligus mengurangi ketidaknyamanan s/d iskemia.

Nitrat berguna untuk kontrol nyeri dengan efek vasodilatasi koroner.
Agen ke 2 untuk pengontrol nyeri melalui efek hambatan rangsanggsimpatis sehingga menurunkan TD.( sistolik ) Fibrilasi jantung,dan kebutuhan oksigen miokard .
Menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi, dan mengurangi kerja miokard.
Efek vasodilatasi dapat meningkatkan aliran darah koroner, sirkulasi kolateral dan menurunkan preload.
Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbanmgan antara suplai oksigen miokard dan kebutuhan Tujuan :
Meningkatkan toleransi aktiviitas
Kriteria ;
Frekuensi jantung, irama dan tekanan darah dalam batas normal
Kulit hangat, merah muda dan kering. Catat frekuensi jantung, irama dan perubahan TD., selama dan sesudah aktivitas

Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas , dan berikan aktivitas senggang yang tidak berat.
Anjurkan menghindari peningkatan tekanan abdomen misal, mengejan saat defekasi

Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas , contoh bangun dari kursi, bila tak ada nyeri, ambulasi, dan istirahat selama 1 jam setelah makan.
Rujuk ke program rehabilitasi jantung.. Respon pasien terhadap aktivitas dapat mengindikasikan penurunan oksigen miokard.
Menurunkan kerja miokard/konsumsi oksigen

Dengan mengejan dapat mengakibatkan bradikardi, menurunkan curah jantung, dan takhicardia serta peningkatan TD
Aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningkatkan regangan dan mencegah aktovitas berlebihan.

Ansietas b/d ancaman atau perubahan kesehatan. Tujuan
Ansietas hilang /berkurang
Kriteria :
Mengenal perasaannya
Dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhi
nya.
Menyatakan ansietas berkurang /hilang.
Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan dan takut.
Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, dampingi klien dan lakukan tindakan bila menunjukan perilaku merusak.
Hindari konfrantasi

Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktifitas yang diharapkan.
Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya.
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat.

Kolaborasi : berikan anti cemas / hipnotik sesuai indikasi contohnya diazepam Cemas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya.
Reaksi verbal/non verbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah dan gelisah.

Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama dan mungkin memperlambat penyembuhan
Orientasi dapat menurunkan kecemasan.

Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kehawatiran yang tidak diekspresikan
Memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas dan perilaku adaptasi.
Meningkatkan relaksasi dan menurunkan kecemasan
Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung b/d perubahan frekuensi, irama dan konduksi elektrikel. Tujuan :
Penurunan curah jantung tidak terjadi.
Kriteria :
Stabilitas hemodinamik baik (tekanan darah dbn., curah jantung drn.intake dan output sesuai, tidak menunjukan tanda – tanda disritmia) Auskultasi TD. Bandingkan kedua lengan, ukur dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri bila memungkinkan.

Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi.

Catat terjadinya S3/S4.

Catat Murmur

Pantau frekuensi jantung dan irama

Berikan makanan kecil / mudah dikunyah, batasi asupan kafein.

Kolaborasi
Berikan O² tambahan sesuai indikasi
Pertahankan cara masuk heparin (IV) sesuai indikasi
Pantau data laboratorium enzim jantung, GDA. Dan elektrolit.
Berikan obat antidisritmia s/d indikasi. Hipotensi dapat terjadi s/d disfungsi ventrikel, hipertensi juga fenomena umum b/d nyeri cemas pengeluaran katekolamin
Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya kekuatan nadi.
S3 b/d gjk atau gagal mitral yang disertai infark berat.
S4 b/d iskemia, kekakuan ventrikel atau hypertensi pulmonal.
Menunjukan gangguan aliran darah dalam jantung,(kelainan katup, kerusakan septum, atau vibrasi otot papilar
Perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukan komplikasi disritmia.
Makanan besar dapat meningkatkan kerja miokard.
Kafein dapat merangsang langsung ke jantung sehingga meningkatkan frekuensi jantung.
Meningkatkan kebutuhan miokard

Jalur yang paten pentying untuk pemberian obat darurat.
Enzim memantau perluasan infark, elektrolit berpengaruh terhadap irama jantung.
Resiko tinggi terhadap kelebihan volume cairan b/d penurunan ferfusi organ Tujuan
Kelebihan volume cairan tidak terjadi
Kriteria :
TD. Dbn.
Tidak ada edema, tidak ada distensi vena, paru bersih berat badan stabil.
Auskultasi bunyi nafas ( krekels )

Kaji adanya edema

Ukur intake dan output

Timbang bera

Pertahankan pemasukan total cairan 2000ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler.

Kolaborasi
Berikan diet natrium rendah
Berikan diuretik, contoh : Lasix atau hidralazin, sprinolakton,hidronolakton
Pantau Kalium sesuai dengan indikasi Indikasi edema paru, sekunder akibat dekompensasi jantung.
Curiga gagal kongestif/kelebihan volume cairan
Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan ferfusi ginjal, retensi natrium/air, sdan penurunan haluaran urine.
Perubahan tiba-tiba dari berat badan menunjukan gangguan keseimbangan cairan
Memenuhi kebutuhan cairan tubuh orang dewasa, tepai memerlukan pembatasan dengan adanya dekompensasi jantung
Natrium meningkatkan retensi cairan dan harus dibatasai.
Memperbaiki kelebihan cairan.

Hipokalemia dapat membatasi keefeftifan terapi.

Daftar Pustaka

Doenges M. ( 1999 ).Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumenatsian Perawatan Pasien. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.

Lynda Juall Carpenito ( 1999 ). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

S. Harun ( 1996) Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, edisi ketiga.Penerbit Balai penerbit FKUI Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia

Sylvia A. Price. ( 1995 ).Patofiologi,Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta..

Analisa Data
Nama Klien : Tn. S.
Ruang : Jantung

Data Etiologi Masalah
S.: Klien kadang-kadang masih mengeluh nyeri dada sedikit( saat dibezuk orang banyak ), rasasakit seperti senut-senut pada daerah dada depan, tidak menyebar, pasien pasca serangan IMA hari ke 8.klien menderita Hipertensi yang terkontrol sejak lima tahun, DM. Terkontrol sejak 10 tahun, kebiasaan klien sebelum MRS suka minum kopi 2 gelas/hari, suka merokok sigaret 3-4 batang/hari ( 10 tahun )
O. : TD. 120/80 mmHg. Pols teratur, kuat 88X/ menit, Hasil Lab. Tgl. 31/01 Gula Darah 2 jam PP. 145 mg/dl.LDL (chol ) 151 mg/dl., hasil foto thorax tgl. ½ kardiomegali Faktor resiko ( Hipertensi, DM., perokok, suka minum kopi, cholesterol ) Resiko kekambuhan ulang infark miokard.
S. Klien menanyakan aktifitas-aktifitas yang boleh/tidak boleh dilakukan setelah pulang nanti. Kurangnya informasi Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar ) tentang hal-hal yang boleh/tidak boleh dilakukan di rumah/tempat kerja.

Diagnosa Keperawatan dan Prioritas
1. Resiko terjadinya kekambuhan ulang infark miokard b/d adanya faktor resiko yang menunjang ( DM, Hipertensi, kebiasaan merokok ( 10 tahun ) kebiasaan minum kopi 2 gelas/hari, lab. Cholesterol masih tinggi ), ditandai dengan, kadang-kadang klien masih mengeluh nyeri dada sedikit, gula darah 2 jam PP. 145 mg/dl., foto thorak kardiomegali.
2. Kurang pengetahuan ( kebutuhan belajar ) tentang hal-hal yang boleh/tidak boleh dilakukan di rumah/tempat kerja b/d kurangnya informasi, ditandai dengan klien menanyakan tentang aktivitas-aktivitas yang boleh/tidak boleh dilakukan setelah pulang nanti.

Perencanaan Keperawatan
Nama Klien : Tn. S.
Ruang : Jantung
Diagnosa Keperawatan Tujuan –Kriteria Intervensi Rasional
Resiko terjadinya kekambuhan miokard infark b/d adanya faktor resiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari kekambuhan miokard infark tidak berulang
Kriteria :
Nyeri dada di bagian sternum hilang,
EKG. Dalam batas normal.
Pemeriksaan Enzim CKMB. Dalam batas normal ( kurang dari 24 )
Tekanan Darah terkontrol
Gula darah terkontrol
Cholesterol terkontrol. Mandiri:
1. Anjurkan klien beristirahat baik secara fisik ataupun mental.

2. Laporkan kepada perawat/dokter jika keluhan nyeri dada timbul.
3. Catat dan observasi frekuensi jantung, irama dan perubahan tekanan darah
4. Diskusikan dengan klien pentingnya diet DM. Makanlah sesuai yang disediakan oleh Rumah Sakit( 2100 Cal. )
5. Anjurkan untuk berhenti merokok dan minum kopi diskusikan bahaya merokok terhadap resiko kekambuhan MI.
6. Batasi makanan yang mengandung tinggi kolesterol Jeroan, alpukat, kacang-kacangan, kuning telur )
Kolaboratif:
1. Berikan Insulin Injectie sub cutan 4 Iu sebelum makan.sesuai dengan program.
2 Berikan obat –batan sesuai dengan program :ASA. 1X 100mg.
ISDN. 3X 5 mg.
Bisoprolol ;1X2,5 mg.
Diazepam 3X 5mg.
Laxadine 3X CI
Insulin 3X 4 IU/sc.
Ticlopan. 2X 350 mg. Ketegangan menyebabkan peningkatan kortisol.lebih jauh aktivitas jantung meningkat.
Antisipasi terhadap kerusakan yang lebih berat.

Respon pasien terhadap aktivitas mempengaruhi penurunan oksigen miokard
Antisipasi terhadap peningkatan kadar glukosa darah.

Nikotin pada rokok dapat mengganggu transportasi oksigen ke miokard.

Mengurangi kadar kolesterol, mengurangi terjadinya arteroskelorosis .

Asam Salisilat asetil analgetik, antipiretik antiinflamsi luas.
Isosorbit Di Nitrat sebagai Veno-Arterodilator
Bisoprolol sebagai Beta bloker terhadap suplai dan kebutuhan miokard( mengurangi frekuensi jantung, meningkatkan suplai oksigen)
Kurang pengetahuan tentang aktivitas yang boleh/tidak boleh dilakukan dirumah/tempat kerja b/d kurangnya informasi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari klien dapat mengetahui tentang hal aktivitas yang boleh/tidak boleh dilakukan.
Kriteria hasil :
Klien dapat menjelaskan dengan bahasanya sendiri tentang ambulasi yang bisa digunakan.
Klien dapat menjelaskan kegiatan-sehari-hari pada umumnya.
Klien dapat menjelaskan dengan sederhana hal-hal yang perlu diperhatikan.
Klien dapat menjelaskan kegiatan sesudah fase 2 minggu dari rumah sakit 1.Berikan penjelasan saat pulang dari RS. Naik mobil, jangan menyetir, jika rumahnya jauh gunakan tempat duduk dibelakang mobil dengan memakai bantal, jika perjalanan lebih dari satu jam berhenti sebentar, keluar mobil hirup udara segar.Lanjutkan perjalanan.
2. Diskusikan kegiatan sehari-hari di rumah :
a. Makan 3-4 kali/harimsesuai dengan program Diet Dm. Dgn. Porsi kecil, makan perlahan dan teratur.
b. Minum obat, sesuai jadwal dan teratur, konsultasi jika ada reaksi berlebihan.
c. Hindari stress
d. Hindari ruangan yang terlalu dingin atau panas.
e. Bagi jadwal pekerjaan s/d kemampuan.
f. Jika lelah sedang bekerja berhenti untuk beristirahjat 15-30 menit.
g. Jangan tidur terlalu malam.
Yang Penting diperhatkan :
a. Hentikan merokok
b. Hentikan minum kopi
c. Jika timbul nyeri dada rasa tercekik, semutan di tangan, segera berhenti jim asedang aktivitas. Ambil obat Nitroglyserin taruh dibawah lidah, dan berbaringlah.
d. Konsultasi segera bila terdapat kelianan yang luar biasa.
Kegiatan – kegiatan yang jangan dilakukan dalam 2 minggu pertama sesudah pulang dari RS.
a.Membersihkan dgn. Vacum cleaner, menyapu, menyetrika, membersihkan kebun, dan cuci mobil
b.Menyetir mobil
c.Angkat besi atau barang berat
d.Bekerja di bawah atap atau di lanatai dasar
e.Olah raga berat
f.Nonton film seram atau seru.
g.Naik sepeda.
h.Berjalan waktu dingin di bawah 20. Menghindari kelelahan

Mengurangi aktivitasjantung.

Mengurangi kelelahan

Mengontrol kadar gula darah.

Mengurangi beban jantung

Nikotin pada rokk menghambat transpot oksigen ke jaringan otot jantung.

Vasodilator cepat

Implementasi Keperawatan

Nama Klien : Tn. S.
Ruang : Jantung.

DX. Kep.Hari / Tgl jam Tindakan Keperawatan Nama Perawat
Senin, 04-02-02
10.00

11.00
12.00

13.00
Observasi vital sign ( TD, Nadi, RR dan suhu )
Melakukan pengkajian
Memberikan suntikan Insulin 4 IU/SC.
Mengobservasi makan klien.
Melakukan observasi vital sign, sambil melakuikan pemeriksaan fisik. Rini Hendari
DX1 Selasa, 05/02/02, 08.00

09.00

10.00

12.00
13.00

DX 2
Menyediakan obat peroral, untuk diminum setelah makan pagi.yaitu:ASA 100mg, ISDN 5 mg. Bisoprolol 2,5mg, Ticlopan 250mg.
Memberikan Injeksi Insulin 4 IU /SC.
Mengobservasi makan klien, sambil memotivasi klien untuk makan hanya makanan yang disediakan oleh rumah sakit , karena sudah diukur kalorinya.
Melakukan observasi vital sign ( Tekanan Darah, Nadi, RR. Dan suhu )
Berdiskusi dengan klien tentang bahaya merokok dan minum kopi terhadap resiko kekambuhan.
Memberikan injeksi Insulin 4 IU/SC.
Melakukan observasi vital sign; iarama jantung, tekanan darah, nadi, RR. Dan suhu.
Memberikan HE. Tentang kegiatan sehari-hari di rumah pada ummnya. Rini Hendari
DX1 Rabu 06/02/02, 08.00

09.00

10.00

12.00
13.00

DX 2
Menyediakan obat peroral, untuk diminum setelah makan pagi.yaitu:ASA 100mg, ISDN 5 mg. Bisoprolol 2,5mg, Ticlopan 250mg.
Memberikan Injeksi Insulin 4 IU /SC.
Mengobservasi makan klien.
Melakukan observasi vital sign ( Tekanan Darah, Nadi, RR. Dan suhu )
Memberikan injeksi Insulin 4 IU/SC.
Melakukan observasi vital sign; iarama jantung, tekanan darah, nadi, RR. Dan suhu.
Memberikan HE. Tentang diet rendah kolesterol.

Memberikan injeksi Insulin 4 IU/SC.
Melakukan observasi vital sign: TD, Irama Jantung, tekanan nadi, RR dan suhu.
Memberikan HE. Tenatng hal-hal yang penting diperhatikan setelah pulang. Rini Hendari
DX1 Kamis 07/02/02, 08.00

11.00
12.00

13.00

DX 2
Menyediakan obat peroral, untuk diminum setelah makan pagi.yaitu:ASA 100mg, ISDN 5 mg. Bisoprolol 2,5mg, Ticlopan 250mg.
Memberikan Injeksi Insulin 4 IU /SC.
Mengobservasi makan klien.
Melakukan observasi vital sign ( Tekanan Darah, Nadi, RR. Dan suhu )
Melakukan pemeriksaan EKG.
Memberikan injeksi Insulin 4 IU/SC.
Melakukan observasi vital sign; iarama jantung, tekanan darah, nadi, RR. Dan suhu.
Memberikan HE. Tentang Kegiatan-kegiatan yang dapat /tidak dilakukan dalam 2 minggu sesudah pulang dari rumah sakit. Rini Hendari
DX1 Jumat 08/02/02, 08.00

09.00
10.00

12.00

Menyediakan obat peroral, untuk diminum setelah makan pagi.yaitu:ASA 100mg, ISDN 5 mg. Bisoprolol 2,5mg, Ticlopan 250mg.
Memberikan Injeksi Insulin 4 IU /SC.
Mengobservasi makan klien, sambil menanyakan kembali jenis-jenis makanan yang tidak boleh/dibatasi
Melakukan observasi vital sign
Melakukan evaluasi diagnosa kleperawatan 1 dan 2

Memberikan injeksi Insulin 4 IU/SC. Rini Hendari

Evaluasi
Nama Klien : Tn. S,
Ruang : Jantung
Hari/Tanggal/Jam Diagnosa Keperawatan Dan Evaluasi Nama Perawat
Kamis,07-02-02
12.00
Diagnosa Keperawatan 1
S.: Nyeri dada, tidak ada sejak hari Selasa, pusing(-),keringat dingin(-), berdebaar-debar(-)
O.: TD. : 120/80mmHg., Nadi:84X/menit, RR. 16X/menit, Irama Jantung teratur.
Lab. Belum ada. EKG. ( kesimpulan Mahasiswa ) Ritme :reguler, Frekuensi, 84X/menit, PR Interval 0,2 detik, gelombang P normal, QRS Complex durasi 0,28 detik, Gelombang Q Patologis ST Segmen lead II,III &AVF,V!, V2, V3, V4, V5, gelombang T Depresi pada AVL. V1s/dV6 gelombang QT interval 0,32 Kesimpulan . Hipertropi pada Ventrikel kanan, Hipertropi ventrikel kiri,BBB di?
Diagnosa Keperawatan 2
S.: Klien mengatakan akan mematuhi saran-saran yang dianjurkan dan mengerti sedikit tentang aktivoitas yang boleh/tidak boleh dilakukan pasca serangan IMA. Rini Hendari

Orang Cantik Mana Boleh Galauuu.........^_^

PENDAHULUAN

Osteomielitis adalah peradangan sumsum tulang dan jaringan tulang di sekitarnya yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme pathogen (yang dapat menyebabkan penyakit), umumnya oleh jenis Staphylococcus. Bakteri biasanya mencapai tulang secara langsung melalui luka terbuka namun dapat pula secara hematogen (penyebaran melalui peredaran darah). Osteomielitis hematogen lebih banyak pada anak.

Penyakit ini disebut akut jika berlangsung kurang dari 3 bulan. Jika lebih dari 3 bulan disebut kronik. Beberapa orang memasukkan kategori ketiga, subakut, dimana infeksi telah berlangsung lebih dari 3 bulan namun belum mengalami nekrosis (kematian sel) tulang yang ekstensif. Pada anak, osteomielitis umumnya muncul dalam bentuk akut sedangkan pada orang dewasa biasanya kronik, dimana penyakit berlangsung selama beberapa bulan sampai tahunan. Tulang panjang lebih sering terkena osteomielitis dibandingkan dengan tulang lainnya.
Penyakit ini lebih banyak menyerang pria daripada wanita. Semua usia dapat terkena namun umumnya anak-anak usia sekolah dan orang yang berumur lebih dari 50 tahun lebih rentan terkena osteomielitis. Penyakit yang biasanya mendahului ialah tonsillitis (radang pada bagian tonsil di tenggorokan), infeksi telinga, infeksi tali pusat pada bayi. Faktor hygiene yang buruk meningkatkan resiko infeksi pada tulang. Benturan pada tulang menyebabkan luka terbuka yang menjadi jalan masuk bagi kuman.

A.LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN OSTEOMIELITIS

1.DEFINISI
Osteomielitis

I
Osteomielitis adalah infeksi tulang.
Infeksi pada tulang dan sumsum tulang yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus atau proses spesifik (m, Tuberkulosa, jamur). ( kapita Selekta kedokteran, P 358. Jakarta. 2000 ).
Infeksi tulang dengan menghasilkan nanah yang dapat menjadi akut / kronis, menyerang dari satu lokasi saja (umumnya) tetapi tidak dapat menyebar melalui sumsum tulang dan membran yang melindungi tulang. ( Diseases Dr. Robert Coopai. Jakarta 1996 )
Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (pembentukan tulang baru di sekeliling jaringan tulang mati). Osteomeilitis dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas. Beberapa ahli memberikan defenisi terhadap osteomyelitis sebagai berkut :
 Osteomyelitis adalah infeksi Bone marrow pada tulang-tulang panjang yang disebabkan oleh staphylococcus aureus dan kadang-kadang Haemophylus influensae (Depkes RI, 1995).
 Osteomyelitis adalah infeksi tulang (Carpenito, 1990).
 Osteomyelitis adalah suatu infeksi yang disebarkan oleh darah yang disebabkan oleh staphylococcus (Henderson, 1997)
 Osteomyelitis adalah influenza Bone Marow pada tulang-tulang panjang yang disebabkan oleh staphyilococcus Aureus dan kadang-kadang haemophylus influenzae, infeksi yang hampir selalu disebabkan oleh staphylococcus aureus. Tetapi juga Haemophylus influenzae, streplococcus dan organisme lain dapat juga menyebabkannya osteomyelitis adalah infeksi lain.

2.ETIOLOGI
Osteomielitis terjadi sebagai invasi langsung ke dalam jaringan tulang dari luka yang terbuka, fraktura tulang atau sebagai infeksi sekunder. Pada infeksi pada organ – organ tubuh yang jauh dari tulang misalnya : radang tenggorokan karena streptokokkus atau pneomonia bakterial. phatogen utama adalah:
 staphylococcus aureus,
 Eschericia coli,
 Streptococcus phygenus dan
 Basilus tuberculosa.

 Infeksi bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui darah) dari fokus infeksi di tempat lain (mis. Tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi saluran nafas atas). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi ditempat di mana terdapat trauma dimana terdapat resistensi rendah kemungkinan akibat trauma subklinis (tak jelas).
 Osteomielitis dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi jaringan lunak (mis. Ulkus dekubitus yang terinfeksi atau ulkus vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang (mis, fraktur ulkus vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang (mis. Fraktur terbuka, cedera traumatik seperti luka tembak, pembedahan tulang.
 Pasien yang beresiko tinggi mengalami osteomielitis adalah mereka yang nutrisinya buruk, lansia, kegemukan atau penderita diabetes. Selain itu, pasien yang menderita artritis reumatoid, telah di rawat lama dirumah sakit, mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang, menjalani pembedahan sendi sebelum operasi sekarang atau sedang mengalami sepsis rentan, begitu pula yang menjalani pembedahan ortopedi lama, mengalami infeksi luka mengeluarkan pus, mengalami nekrosis insisi marginal atau dehisensi luka, atau memerlukan evakuasi hematoma pascaoperasi.
Tulang, yang biasanya terlindung dengan baik dari infeksi, bisa mengalami infeksi melalui 3 cara:
 Aliran darah
 Penyebaran langsung
 Infeksi dari jaringan lunak di dekatnya.

3.MANIFESTASI KLINIS
 Panas tinggi, anoreksia, malaise ( adanya prpses septikemi ).
 Nyeri tulang dekat sendi, tidak dapat menggunakan anggota bersangkutan, pembengkakan lokal (tanda-tanda radang akut : rubor, dolor, kalor, tumor, fungsi larsa) dan nyeri tekan.
 Pada osteomielitis kronik biasanya rasa sakit tidak begitu berat, anggota yang terkena nanah dan bengkak.
 LAB : leokositosis, anemia, LED meningkat.

4.KLASIFIKASI
Menurut kejadiannya osteomyelitis ada 2 yaitu :
1. Osteomyelitis Primer  Kuman-kuman mencapai tulang secara langsung melalui luka.
2. Osteomyelitis Sekunder  Adalah kuman-kuman mencapai tulang melalui aliran darah dari suatu focus primer ditempat lain (misalnya infeksi saluran nafas, genitourinaria furunkel).
Sedangkan osteomyelitis menurut perlangsungannya dibedakan atas :
a. Steomyelitis akut
 Nyeri daerah lesi
 Demam, menggigil, malaise, pembesaran kelenjar limfe regional
 Sering ada riwayat infeksi sebelumnya atau ada luka
 Pembengkakan lokal
 Kemerahan
 Suhu raba hangat
 Gangguan fungsi
 Lab = anemia, leukositosis
b. Osteomyelitis kronis
 Ada luka, bernanah, berbau busuk, nyeri
 Gejala-gejala umum tidak ada
 Gangguan fungsi kadang-kadang kontraktur
 Lab = LED meningkat
Osteomyelitis menurut penyebabnya adalah osteomyelitis biogenik yang paling sering :
Staphylococcus (orang dewasa), Streplococcus (anak-anak), Pneumococcus dan Gonococcus.

5.PATOFISIOLOGI
Staphylococcus aurens merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang. Organisme patogenik lainnya sering dujumpai pada osteomielitis meliputi Proteus, Pseudomonas dan Ecerichia coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resisten penisilin, nosokomial, gram negatif dan anaerobik.

Awitan osteomielitis setelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama (akut fulminan stadium I) dan sering berhubungan dengan penumpukan hematoma atau infeksi superfisial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah pembedahan.

Respons inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan Vaskularisas dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombosis pada pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dengan nekrosis tulang sehubungan dengan peningkatan dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya, kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan terbentuk abses tulang.

Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan; namun yang lebih sering harus dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya terbentuk daerah jaringan mati, namun seperti pada rongga abses pada umumnya, jaringan tulang mati (sequestrum) tidak mudah mencair dan mengalir keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi pada jaringan lunak. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan mengelilingi sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun sequestrum infeksius kronis yang tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan sepanjang hidup pasien. Dinamakan osteomielitis tipe kronik.

6.KOMPLIKASI
a. Dini
– Mati oleh karena septisemia.
– Abses ditampat lain oleh karena penyebarab infeksi, misalnya abese otak, paru-paru, hepan, dll.
b. Lanjut
– Osteomilitis kronis.
– Kontraktur sendi.
– Gangguan pertumbuhan.

7.PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaan darah
Sel darah putih meningkat sampai 30.000 L gr/dl disertai peningkatan laju endapan darah.
 Pemeriksaan titer antibodi – anti staphylococcus
Pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50% positif) dan diikuti dengan uji sensitivitas.
 Pemeriksaan feses
Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri Salmonella.
 Pemeriksaan Biopsi tulang.
 Pemeriksaan ultra sound
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi.
 Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan photo polos dalam 10 hari pertama tidak ditemukan kelainan radiologik, setelah dua minggu akan terlihat berupa refraksi tulang yang bersifat difus.

8.PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

 Pemeriksaan sinar X : menunjukkan pembengkakan jaringan lunak, pd osteomilitis kronik terlihat peningkatan periosteum, sequestra dan pembentukan tlg.
 Pada sekitar 2 mg tdp daerah dekalsifikasi ireguler,
 nekrosis tulang, pengangkatan periosteum, pembentukan tulang baru
 Pemeriksaan darah : peningkatan leukosit, peningkatan LED
 Kultur darah : menentukan jenis antibiotik yg sesuai.

9.PENATALAKSANAAN MEDIS
 Daerah yang terkana harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman salin hangat selama 20 menit beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran daerah.
 Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi, Kultur darah dan swab dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi organisme dan memilih antibiotika yang terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh lebih dari satu patogen.
 Begitu spesimen kultur telah diperoleh, dimulai pemberian terapi antibiotika intravena, dengan asumsi bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka terhadap penisilin semi sintetik atau sefalosporin. Tujuannya adalah mengentrol infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut menurun akibat terjadinya trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus sesuai waktu sangat penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus menerus tinggi. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang diberikan bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah terkontrol, antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan. Untuk meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama makanan.
 Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan daerah itu diiringi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Tetapi antibitika dianjurkan.
 Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk memajankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.
 Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpengisap untuk mengontrol hematoma dan mebuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dengan pemberian irigasi ini.
 Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus untuk merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flup otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah; perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi.
 Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang.

10.PENCEGAHAN
 Pencegahan Osteomielitis adalah sasaran utamanya. Penanganan infeksi fokal dapat menurunkan angka penyebaran hematogen. Penanganan infeksi jaringan lunak dapat mengontrol erosi tulang. Pemilihan pasien dengan teliti dan perhatikan terhadap lingkungan operasi dan teknik pembedahan dapat menurunkan insiden osteomielitis pascaoperasi.

 Antibioika profilaksis, diberikan untuk mencapai kadar jaringan yang memadai saat pembedahan dan Selma 24 sampai 48 jam setelah operasi akan sangat membantu. Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptic akan menurunkan insiden infeksi superficial dan potensial terjadinya osteomielitis.

B.ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN OSTEOMIELITIS
1.PENGKAJIAN
A. Pengumpulan Data
1. Identitas pasien
Meliputi : nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, agama, suku, alamat, tanggal dan jam masuk rumah sakit, no register, serta identitas yang bertanggung jawab.
2. Keluhan Utama
Biasanya pasien osteomilitis ditandai dengan nyeri konstan pada salah satu tulang, panas.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada umumnya pasien osteomilitis sering mengalami nyeri pada daerah kaki, panas badan.
b. Riwayat Kesehatan Lalu
Pasien mempunyai riwayat tertentu seperti : infeksi, batuk, TB paru.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya pasien mempunyai keturunan dari keluarganya.
4. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Tatalaksana Hidup Sehat
Meliputi kebiasaan merokok, menggunakan alkohol, kebiasaan berolahraga.
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Biasanya pasien tidak nafsu makan, fluktuasi berat badan.
c. Pola Eliminasi
Biasanya pasien tidak mengalami gangguan pada eliminasi … dan urinnya.
d. Pola Tidur dan Istirahat
Biasanya pasien mengalami gangguan waktu tidur dikarenakan nyeri dan suhu badan yang meningkat.
e. Pola Aktivitas dan Latihan
Biasanya pasien mengalami gangguan pada pola aktivitas dan latihannya.
f. Pola Persepsi Pola dan Konsep Diri
Pasien dengan osteomilitis merasa malu akan penyakitnya.
Pola Reproduksi Sosial
Biasanya penyakit pasien tidak mempengaruhi pada pola reproduksi seksual.
g. Pola Sensori dan Kognitif
Pasien tidak ada gangguan pada kelima panca indranya, dan biasanya kognitif pasien baik.
h. Pola Hubungan Peran
Biasanya pasien dapat berinteraksi dengan baik terhadap keluarga dan lingkungan sekitarnya.
i. Pola Penanggulangan Stress
Pasien dalam penanggulangan stress biasanya dapat diatasi dan dapat memecahan masalah.
j. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Pasien beragama Islam.

5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran pasien composmentis, suhu, nadi, pernafasan normal, keadaan penyakit pasien akut.
b. Kepala
Pasein tidak ada benjolan, pada mata tidak ada oedema.
c. Thorax
Bentuk thorax px osteomilitis normal / simetris.
d. Jantung
Didapatkan suara 1 dan 2 tunggal.
e. Abdomen
Pasien tidak ada pembesaran limpha atau hati.
f. Ekstrimitas
Pasien akral hangat, ada nyeri waktu berjalan.

2.DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi, insisi dan drainase.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan bengkak sendi
3. Risiko injury (cedera) berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skletal dan ketidakseimbangan tubuh

3.INTERVENSI KEPERAWATAN
1.Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi, insisi dan drainase
Tujuan ;
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang
Kriteria :
– Klien akan mengekspresikan perasaan nyerinya
– Klien dapat tenang dan istirahat yang cukup
– Klien dapat mandiri dalam perawatan dan penanganannya secara sederhana

Intervensi :
– Pantau tingkat nyeri pada punggung, terlokalisisr atau nyeri menyebar pada abdomen atau pinggang
R/ Tulang dalam peningkatan jumlah trabekuler, pembatasan gerak spinal.
– Ajarkan pada klien tentang alternatif lain untuk mengatasi dan mengurangi rasa nyerinya.
R/ Laternatif lain untuk mengatasi nyeri pengaturan posisi, kompres hangat dan sebagainya.
– Kaji obat-obatan untuk mengatasi nyeri
R/ Keyakinan klien tidak dapat mentolelir akanb obat yang adequaty atau tidak adequat untuk mengatasi nyerinya.
– Rencanakan pada klien tentang periode istirahat adequat dengan berbaring dengan posisi terlentang selam kurang lebih 15 menit
R/ Kelelahan dan keletihan dapat menurunkan minat untuk aktivitas sehari-hari.

2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan bengkak sendi.

Tujuan :
Setelah diberi tindakan keperawatan diharapkan klien mampu melakukan mobilitas fisik.
Kriteria :
– Klien dapat meningkatkan mobilitas fisik
– Klien mampu melakukan ADL secara independent

Intervensi :
– Kaji tingkat kemampuan klien yang masih ada
R/ Dasar untuk memberikan alternatif dan latihan gerak yang sesuai dengan kemampuannya.
– Rencanakan tentang pemberian program latihan :
¤ bantu klien jika diperlukan latihan
¤ ajarkan klien tentang ADL yang bisa dikerjakan,
¤ ajarkan pentingnya latihan
R/ Latihan akan meningkatkan pergrakan otot dan stimulasi sirkulasi darah.
– Bantu kebutuhan untuk beradaptasi dan melakukan ADL, rencana okupasi
R/ ADL secara independent
– Peningkatan latihan fisik secara adequat :
– Dorong latihan dan hindari tekanan pada tulang seperti berjalan
– Instruksikan klien latihan selama kurang lebi 30 menit dan selingi dengan isitirahat dengan berbaring selam 15 menit
– Hindari latihan fleksi, membungkuk dengan tiba-tiba dan mengangkat beban berat
R/Dengan latihan fisik :
¤ Massa otot lebih besar sehingga memberikan perlindungan pada osteoporosis
¤ Program latihan merangsang pembentukan tulang
¤ Gerakan menibulkan kompresi vertikal dan risiko fraktur vertebrae

3.Risiko injury (cedera) berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skletal dan ketidakseimbangan tubuh
Tujuan :
Injury (cedera) tidak terjadi
Kriteria :
– Klien tidak jatuh dan fraktur tidak terjadi
– Klien dapat menghindari aktivitas yang mengakibatkan fraktur
Intervensi :
– Ciptakan lingkungan yang bebas dari bahaya :
¤ Tempatkan klien pada tetmpat tidur rendah
¤ Amati lantai yang membahayakan klien
¤ Berikanpenerangan yang cukup
¤ Tempatkan klien pada ruangan yang tertutup dan mudah untuk diobservasi
¤ Ajarkan klien tentang pentingnya menggunakan alat pengaman di ruangan
R/ Menciptkan lingkungan yang aman danmengurangi resiko terjadinya kecelakaan.
– Berikan support ambulasi sesuai dengan kebutuhan :
¤ Kaji kebutuhan untuk berjalan
¤ Konsultasi dengan ahli terapis
¤ Ajarkan klien untuk meminta bantuan bila diperlukan
¤ Ajarkan klien waktu berjalan dan keluarg ruangan
R/ Ambulasi yang dilakukan tergesa-gesa dapat menyebabkan mudah jatuh.
– Bantu klien untuk melakukan ADL secara hati-hati
R/ Penarikan yang terlaluk keras akanmenyebakan terjadinya fraktur.
– Ajarkan pad aklien untuk berhenti secara pelan-pelan, tidak naik tangga dan mengangkat beba berat
R/ Pergerakan yang cepat akan lebih mudah terjadinya fraktur kompresi vertebrae pada klien dengan osteoporosis
– Ajarkan pentingnya diit untuk mencegah osteoporosis :
¤ Rujuk klien pada ahli gizi
¤ Ajarkan diit yang mengandung banyak kalsium
¤ Ajarkan klien untuk mengurangi atau berhenti menggunakan rokok atau kopi,
R/ Diit calsium dibutuhkan untuk mempertahnkan kalsium dalm serum, mencegah bertambahnya akehilangan tulang. Kelebihan kafein akan meningkatkan kehilangan kalsium dalam urine. Alkohorl akan meningkatkan asioddosis yang meningkatkan resorpsi tulang.
– Ajarkan efek dari rokok terhadap pemulihan tulang
R/ Rokok dapat meningkatkan terjadinya asidosis
– Observasi efek samping dari obat-obtan yang digunakan
R/ Obat-obatan seperti deuritik, phenotiazin dapat menyebabkan dizzines, drowsiness dan weaknes yang merupakan predisposisi klien untuk jatuh.

4.IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

Hasil yang diharapkan:
1. Mengalami peredaan nyeri
a. Melaporkan berkurangnya nyeri
b. Tidak mengalami nyeri tekan di tempat terjadinya Infeksi
c. Tidak mengalarni ketidaknyamanan bila bergerak
2. Peningkatan mobilitas isik
a. Berpartisipasi dalam aktivitas perawatan~diri
b. Mempertahankan fungsi penuh ekstremitas Yang sehat
c. Memperlihatkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu dengan aman
3. Tiadanya infeksi
a. Memakai antibiotika sesuai resep
b. Suhu badan normal
c. Tiadanya pembengkakan
d. Tiadanya pus
e. Angka leukosit dan laju endap darah kembali non nal
f. Biakan darah negatif
4. Mematuhi rencana terapeutik
a. Memakai antibiotika sesuai resep
b. Melindungi tulang yang lemah
DAFTAR PUSTAKA

 Buku Ajar keperawatan Gangguan Sistem Muskulus Skeletal (Pendidikan Ahli Madya Keperawatan Banjarbaru). Disusun oleh Agus Rahmadi.A,Kep. Banjarbaru, 1993.

 Lukman,nurna ningsih.ASUHAN KEPERAWATAN dengan GANGGUAN SISTEEM MUSKULUSKELETAL.Salemba Medika.Jakarta:2009

 Diseases (Penyakit) Dr.Robert B. Copper. Editor Dr. drh Mangku Sitepu. Buku edisi pertama. Grasindo. Gramedia Jakarta. 1996.

 Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Editor Arif Mansyur, dkk. Media Aesculapius. FKUI. Jakarta. 2000.

 Standar Keperawatan pasien. Edisi V. Susan Martin, Tucher. EGC. Jakarta 1992.

 De jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta: EGC, 2003.

Fraktur Femur

LANDASAN
TEORI

FRAKTUR FEMUR

I. Pengertian
a. Fraktur / patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
Fraktur dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur komplit : bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka : bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.
Fraktur terbuka ini terbagi atas 3 derajat, yaitu :
Drajat I :
• Luka 1 cm
• Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap / ovulasi
• Fraktur kominutif sedang
• Kontaminasi sedang
Drajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot dan neuro vaskuler serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur Drajat III terbagi atas:
• Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi luas / flap / ovulasi ; atau fraktur segmental / sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
• Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar / kontaminasi masif.
• Luka pada pembuluh darah arteri / sarat perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

II. Deskripsi Fraktur
Untuk menjelaskan bagaimana keadaan fraktur. Hal-hal yang perlu dideskripsikan antara lain :
1. Komplit / tidak
a. Fraktur komplit → bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui korteks tulang.
b. Fraktur tidak komplit → bila garis patah melalui seluruh penampang tulang.
Seperti : – Hairline fracture
– Buckle fracture / torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya, biasanya pada distal radius anak-anak
– Greenstick fracture mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak

2. Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
a. Garis patah melintang : trauma agulasi/ langsung
b. Garis patah oblig : trauma angulas
c. Garis patah sepiral : trauma rotasi
d. Fraktur kompresi : trauma aksial – fleksi pada tulang spongiosa
e. Fraktur avulsi : trauma tarikan / traksi otot pada inersnya di tulang

3. Jumlah garis patah
a. Fraktur kominutif : garis patah lebih dari 1 dan saling berhubungan
b. Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan, bila dua garis patah disebut pula fraktur bifokal.
c. Fraktur multipel : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya. Misal fraktur femur, fraktur kruris, dan fraktur tulang belakang.
4. Bergeser / tidak
5. Terbuka / tertutup
6. Komplikasi / tanpa komplikasi

FRAKTUR FEMUR
Fraktur femur terbadi menjadi 2 :
1. Fraktur batang femur
2. Fraktur kolum femur
• Fraktur Batang Femur
Fraktur femur, fraktur batang femur mempunyai insiden cukup tinggi diantara jenis-jenis patah tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3 tengah. Fraktur di daerah kaput, kolum, trokanter, subtrokanter, suprakondilus biasanya memerlukan tindakan operatif.

– Manifestasi Klinis
Daerah paha yang patah tulangnya sangat membengkak, ditemukan tanda functio laesa, nyeri tekan, dan nyeri gerak. Tampak adanya deformita angulasi ke lateral atau angulasi anterior, endo / ekso rotasi. Ditemukan adanya perpendekan tungkai bawah. Pada fraktur 1/3 tengah femur, saat pemeriksaan harus diperhatikan pula kemungkinan adanya dislokasi sendi panggul dan robeknya ligamentum di daerah lutut. Selain itu periksa juga keadaan nervus siatika dan arteri dorsalis pedis.

– Penatalaksanaan
• Pada fraktur femur tertutup
1. Dilakukan traksi dengan metode ekstensi Buck atau didahului pemakaran Thomas splint
2. Tungkai ditraksi dalam keadaan ekstensi
3. Pengobatan non-operatif / operatif. (pada anak-anak biasanya non-operatif)
• Pengobatan non-operatif
Dilakukan traksi skeletal, yang sering metode perkin dan metode balance skeletal traction, pada anak dibawah 3 tahun digunakan traksi kulit Bryant, sedang pada anak usia 3 – 13 tahun dengan traksi Russell.
1. Metode Perkin
Px tidur terlentang. Satu jari dibawah tuberositas tibiadibor dengan steinman pin, lalu ditarik dengan tali. Paha ditopang dengan 3-4 bantal. Tarikan pertama 12 mgg lebih sampai terbentuk kalus yang cukup kuat. Sementara itu tungkai bawah dapat dilatih untuk gerakan ekstensi dan fleksi.
2. Metode Balance Skeletal Traction
Pasien tidur terlentang. Satu jari dibawah tuberositas tibiadibor dengan steinman pin. Paha ditopang dengan Thomas spint, sedang tungkai bawah lebih sampai tulangnya membentuk kalus yang cukup. Kadang-kadang untuk mempersingkat waktu rawat, setelah di traksi 8 minggu dipasang gips hemispica.
3. Traksi Kulit Bryant
Anak tidur terlentang di tempat tidur. Kedua tungkai dipasang traksi kulit kemudian ditegakkan ke atas, ditarik dengan tali yang diberi beban 1-2 kg sampai kedua bokong anak tersebut terangkat dari tempat tidur.
4. Traksi Russel
Anak tidur terlentang, dipasang plester dari batas lutut. Dipasang sling di daerah poplitea, sling dihubungkan dengan tali yang dihubungkan dengan beban penarik. Untuk persingkat waktu rawat, setelah 4 minggu di traksi, dipasang gips hemispica karena kalus yang terbentuk kuat benar.

• Operatif
Indikasi :
– Penanggulangan non-operatif gagal
– Fraktur multipel
– Robekannya arteri femoralis
– Fraktur patologik
– Fraktur pada orang-orang tua
Pada fraktur femur 1/3 tengah sangat baik untuk dipasang intramedullary nail. Terdapat bermacam-macam intramedullary nail untuk femur, diantara Kuntscher nail, AO nail dan interlocking nail.
Operasi dapat dilakukan dengan cara terbuka atau cara tertutup. Cara terbuka yaitu dengan menyayat kulit fasia sampai ke tulang yang patah. Pen dipasang secara retrograd. Cara interlocking nail dilakukan tanpa menyayat di daerah yang patah. Pen dimasukkan melalui ujung trokanter mayor dengan bantuan image intensifier. Tulang dapat direposisi dan pen dapat masuk ke dalam fragmen bagian distal melalui guide tube. Keuntungan cara ini tidak menimbulkan bekas sayatan lebar dan perdarahan terbatas.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN “A”
DENGAN FRAKTUR FEMUR
DI RUANG ANAK RS. AISYIYAH BOJONEGORO

Nama Mahasiswa : Nur Linda Hanani Fatma
NIM : 05.02.02.0071
Semester : V
Tanggal Pengkajian : 11 Februari 2008
No. Register : 00.03.27
MRS : 9 Februari 2008
Jam : 16.30 WIB
Ruang : Ruang anak kamar A3

I. PENGKAJIAN
A. Data Subyektif
1. Biodata Pasien Biodata Ortu
Nama Pasien : An “R” Nama Ayah : Tn “K”
Jenis kelamin : Laki-laki Umur : 31 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Status anak : Kandung Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia
Tempat, tgl lahir : 10-07-2008 Bahasa : Jawa
Umur : 5 tahun Pendidikan : SD
Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia Pekerjaan : Petani
Anak ke : 1 Alamat : Boromaibit
Jumlah saudara : 1 01/02 Rangel

2. Keluhan Utama
Saat MRS : Ibu mengatakan bahwa saat MRS (masuk rumah sakit) sejak tanggal 9 Februari 2008 pada hari sabtu sore dikarenakan anaknya jatuh dari sepeda motor dan kesakitan di daerah paha bagian / kaki kiri.
Saat Pengkajian : Ibu mengatakan bahwa anaknya baru selesai operasi patah tulang di daerah paha kiri, dan sekarang anak mengeluh nyeri pada daerah bekas operasi dan batuk-batuk. Ibu juga mengatakan anaknya belum BAB dan masih panas.

3. Informasi Medik
– Diagnosa Medik : Fraktur Femur Sinistra Distal
– Waktu / tempat pemx sebelum MRS : –
– Alergi Obat / Makanan : tidak pernah alergi obat ataupun makanan
– Dikirim oleh : –
– Obat yang terakhir dipakai : –

4. Riwayat Tumbuh Kembang
– Keadaan waktu lahir : Bayi lahir normal (Spontan Brach) dengan berat badan lahir 3500 gr dan panjang badan 50 cm, bayi lahir dengan kondisi baik, lahir langsung menangis keras (AS = 8-9-10)
– Keadaan Sekarang : TB = 125 cm, BB = tidak terkaji dan dalam keadaan bathres diatas tempat tidur
– Adaptasi Sosial : Ibu mengatakan dalam keluarga anaknya mudah bergaul dan berteman dengan orang baru.
– Motorik : Ibu mengatakan anaknya mampu berbicara mulai usia 1 tahun bersamaan dengan anak bisa berjalan. Di usia 1 ½ tahun anak sudah mampu bernyanyi meskipun belum jelas apa yang dikatakannya.
– Bahasa : Anak menggunakan bahasa jawa seperti yang dipergunakan oleh kedua orang tuanya dan keluarga.
– Riwayat Imunisasi :
• BCG = 1x
• DPT = 3x
• Polio = 4 x
• Hepatitis B = 3x
• Campak = 1x

5. Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu mengatakan anaknya baru saja di operasi pada hari sabtu tanggal 9-02-2008 sehabis magrib dikarenakan patah tulang di daerah paha bagian kiri disebabkan jatuh dari sepeda motor.

6. Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu mengatakan anaknya tidak pernah sakit parah, dan tidak pernah MRS. Jika sakit pun hanya batuk pilek atau panas saja, mungkin karena kecapean.

7. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu mengatakan bahwa di dalam keluarga tidak pernah menderita penyakit menurun seperti (DM, asma) dan penyakit menahun (jantung, hipertensi) tetapi ada keluarga yang menderita penyakit menular, tetapi tidak tinggal satu rumah. Penyakit yang diderita adalah paru-paru. Dalam keluarga tidak ada yang pernah menderita penyakit cancer atau tumor.

8. Pola Pemenuhan Aktivitas Sehari-hari
Pola Sebelum MRS Selama RMS
Nutrisi

Eliminasi

Istirahat

Aktivitas

PH Makan 1-2 x /hari dengan komposisi nasi, lauk, sayur dan minum air putih + 8-9 gelas /hari dan anak lebih senang ngemil.

BAK 7-8 x /hari berwarna jernih
BAB 1x /hari berwarna kuning kecoklatan konsistensi lembek

Tidur malam 9-10 jam dan tidak tidur siang

Saat pagi ke sekolah mulai jam 07.00 sampai jam 10.30. Pulang sekolah anak ganti baju dan dilanjutkan bermain dengan teman-temannya sampai jam 16.00

Mandi 2-3 x /hari, gosok gigi 1x /hari, ganti baju 2x /hari, keramas Makan 3x /hari diit dari RS, habis ¼ porsi tiap kali makan. Minum air putih 3-4 gelas /hari

BAK 5-6 x /hari berwarna jernih
BAB belum

Tidur siang 1-2 jam
Tidur malam 3-10 jam

Terbaring di atas tempat tidur

Mandi 3x /hari dengan diseka

9. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum :
Px terbaring di atas tempat tidur, kaki kiri bagian atas terpasang tensokret (femur 1/3 distal sinistra) dan terpasang drain. Pada lengan kiri terpasang infus.

Kesadaran : Kompos mentis, GCS : 6 – 5 – 4
Tanda-tanda vital :
Suhu : 380 C
Nadi : 96 x /menit
Pernafasan : 16 x /menit
Tekanan Darah : 110 / 70 mmHg

• Pemeriksaan Sistemik
Kepala : Rambut berwarna hitam, distribusi merata ; jenis lurus dan panjang + 3 cm, tidak ditemukan luka/lesi ; bersih tidak berketombe atau berkutu.
Wajah : Berbentuk simetris ; tidak ditemukan kelainan kulit ; tidak terdapat finger print (kembali kurang dari 1 detik) ; tidak odem ; TIO (tidak ada depos) sklera putih, terdapat gambaran tipis pembuluh darah ; conjungtiva merah muda, luas lapang panjang 1800.
Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada sianosis, mukosa lembab.
Mulut : Bibir lembab, tidak terdapat carries, lidah tidak berslak, T1, reflek muntah positif.
Telinga : Mukosa lembab, membran timpany putih mengkilat, tidak terdapat serumen.
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening (kelenjar limfe) dan kelenjar tiroid. Tidak ada bendungan vena jugularis.
Dada :
– Inspeksi : Bentuk dada datar, pergerakan dinding dada simetris, tidak ada tarikan intercoste
– Palpas : Tidak ada fraktur coste, vokal premitus sama kanan kiri
– Perkusi : Terdengar sonor
– Auskultasi : Suara jantung S1 dan S2 tunggal, suara nafas tidak ada murmur, tidak ada rokhi.
Abdomen :
– Inspeksi : Bentuk abdomen datar dan tidak ada luka bekas OP
– Askultasi : Bising usus 10x /menit
– Perkusi : Tidak ada meteorismus dan tidak asitesis
– Palpasi : Tidak ada pembesaran hepar, tidak ada nyeri tekan
Genetalia :
Bersih
Anus :
Bersih, tidak ada hemoroid externa.
Ekstrimitas :
Atas : Tidak ada odem
Bawah : Pada paha kiri terdapat luka bekas operasi fraktur femur 1/3 sinistra distal.

10. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Rongent
Hasil : Fraktur Femur 1/3 sinistra distal

11. Terapi
Injeksi Kalfoxim : 3 x 300 mg / 24 jam
Injeksi antrain : 3 x mg / 24 jam
Infus RL

ANALISA DATA
Tanggal Data Penunjang Etiologi Problem
11-02-2008

11-02-2008

11-02-2008 S : Klien mengatakan nyeri pada paha kaki kirinya
O : – Terdapat nyeri tekan
– Terdapat luka bekas operasi
– Fraktur femur 1/3 distal sinistra
– TD : 120 / 70 mmHg
N : 96 x /menit
t : 380 C
RR : 20 x /menit

S : Klien dan ibunya mengatakan takut bergerak / takut menggerakkan kakinya.
O : Wajah tampak menyeringai kesakitan
Nyeri : – –
– +

S : Ibu mengatakan klien belum BAB sejak kemarin
O : – Klien tidak BAB sejak kemarin
– Palpasi abdomen : sigmoid teraba penuh (keras) Trauma Jaringan

Trauma Jaringan

Asupan nutrisi yang kurang serat Nyeri

Kerusakan mobilisasi fisik

Gangguan pola eliminasi BAB

II. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan trauma jaringan
3. Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan asupan nutrisi yang kurang serat

No. Dx Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
I.

II

III Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan keluhan klien berkurang dengan KH :
– Klien mengerti dan mampu mengungkapkan keadaannya
– Rasa nyeri berkurang menjadi skala ringan, bahkan hilang .
– TTV dalam batas normal
Tekanan Darah : 105 / 60 mmHg
Suhu : 36,5 0C – 37,5 0C
Nadi : 75 s/d 115 x/menit
RR : 16-20 x/menit

Setelah dilakukan Asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klien melakukan mobilitas fisik dengan KH :
– Klien dan ibu mengerti tentang keadaannya.
– Kaku – –
– –
– Klien melakukan mobilisasi aktif.

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan gangguan pada eliminasi BAB klien dapat teratasi dengan KH :
– Klien dapat BAB 1. Jelaskan sebab-sebab nyeri pada klien.
2. Jelaskan berapa lama nyeri akan berlangsung.
3. Berikan klien kesempatan untuk beristirahat selama siang dan malam hari tidak terganggu.
4. Kolaborasi dengan dokter umum untuk pemberian analgesik.

1. Dorong klien dan keluarga untuk melakukan mobilisasi
2. Jelaskan pada klien tentang pentingnya mobilisasi
3. Beri dukungan spiritual untuk klien
4. Motivasi klien agar tidak takut menggerakkan kakinya

1. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang gangguan pola BAB klien
2. Anjurkan pada ibu atau keluarga dapat merayu anaknya untuk makan lebih banyak 1. Dengan pengetahuan klien akan tahu sebab nyeri.
2. Dengan penjelasan yang adekuat klien lebih kooperatif dan tahu berapa lama nyeri berlangsung.
3. Kebutuhan istirahat tidur tercukupi.
4. Fungsi interdependen dalam pemberian terapi obat.

1. Ketakutan klien untuk melakukan mobilisasi hilang
2. Mengetahui tentang pentingnya mobilisasi
3. Dukungan spiritual memberi ketenangan pada klien
4. Dengan menggerakkan kaki kekakuan berkurang

1. Klien memahami keadaannya

2. R/ untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi dan serat

No. Dx Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
3. Anjurkan pada ibu atau keluarga untuk memberi minyak gosok yang bersifat hangat untuk merangsang BAB
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian pencahar 3. Dengan rasa hangat didaerah abdomen dapat merangsang BAB

4. Pencahar sebagai pembantu pengeluaran hasil metabolisme

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
Tgl No. Dx Implementasi Evaluasi (SOAP)
11-02-2008 I

II

III 1. Menjelaskan sebab-sebab nyeri pada ibu dan keluarga.
2. Menjelaskan bahwa nyeri akan berlangsung sampai luka dan fraktur kembali ke keadaan yang sebelumnya meski terdapat sedikit perbedaan.
3. Memberikan dan menyarankan klien untuk istirahat yang cukup.
4. Kolaborasi dengan dari untuk pemberian analgesik =
antibiotik = Taxegram 3 x 500 gram.

1. Dorong klien dan keluarga untuk melakukan mobilisasi.
2. Menjelaskan pada Px pentingnya mobilisasi (Adek belajar gerak, bisa mempercepat kesembuhan, jadi sedikit demi sedikit digerakkan ya).
3. Memberikan dukungan spiritual.
4. Memotifasi klien agar tidak takut menggerakkan kakinya (Adek, jangan takut ya…. karna ini untuk kesembuhan adek).

1. Menjelaskan pada ibu dan keluarga bahwa gangguan pada BAB nya tersebut disebabkan Px kurang asupan nutrisi karena makannya kurang
2. Menganjurkan ibu/keluarga untuk memotifasi anak supaya makan lebih banyak.
3. Menganjurkan untuk memberi minyak gosok di daerah perut.
4. Memberikan Dulkolak ½ pil S : Ibu dan keluarga mampu mengungkapkan kembali keadaannya
O : Terdapat luka bekas operasi fraktur femur 1/3 distal sinistra
A : Tujuan belum tercapai / teratasi sebagian.
P : Lanjutkan intervensi 4

S : Klien mau melakukan saran perawat dan mau menggerakkan kakinya.
O :  Klien tidak takut dan menggerakkan kakinya sedikit.
 Wajah terlihat menyeringai.
A : Tujuan tercapai
P : Hentikan interfensi

S : Ibu mau memotifasi anak untuk makan lebih banyak.
O :  Ibu menyuapi anaknya dengan sabar.
 Minum dulkolak ¼ pil
 P x BAB Jam : 07.15
A : Tujuan tercapai
P : Hentikan interfensi

CATATAN PERKEMBANGAN

12-02-08

13-02-08

14-02-08 I

II

III S : Ibu mengatakan bahwa Px (anaknya) sudah mau menggerakkan kakinya meskipun sedikit tetapi masih merasa nyeri.
O : Px mau mengerakkan kakinya dengan bantuan perawat : pemberian taxegram 500 mg/IV
A : Masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan

S : Ibu mengatakan keadaan Px sudah lebih baik dan berani menggerakkan kakinya dan ingin pulang.
O :  Aff infus
 Injeksi taxegram 500 mg /IV.
A : Masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan (4)
 Rencana pulang

S : Ibu mengatakan nanti siang akan pulang.
O :  Injeksi taxegram 500 mg /IV. Px pulang
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan.

 

Pain in acute myocardial infarction (front)

Pain in acute myocardial infarction (front) (Photo credit: Wikipedia)

Pain is an unpleasant sensory and emotional experience associated

with actual or potential tissue damage (Merskey & Bogduk). Pain is “an unpleasant sensory and emotional exp

erience associatedwith actual or potential damage or described in terms of such damage; ef pain is always subjective” (International Association for the Study of Pain, 1979). Pain is categorized according to its duration, location, and etiology. Three basic categories of pain are generally recognized: acute pain, chronic (nonmalignant) pain, and cancer-related pain.

One view explain that pain is a sense similar to vision or hearing, a component of the sensory that warns us of impending damage, gives accurate information to the brain about injuries, and helps us to heal. The inclusion of pain in The Senses: a Comprehensive Reference, alongside vision, hearing, or olfaction shows that this view is persuasive. But there has always been an alternative interpretation of pain. Pain is seen as a trigger of emotional states, a behavioral drive, and a highly effective learning tool. Aristotle, who was the originator of this view, made it very clear: there are only five senses – vision, hearing, touch, taste, and smell. Pain and pleasure are not senses but passions of the soul.

Acute Pain

For purposes of definition, acute pain can be described as lasting from seconds to 6 months. However, the 6-month time frame has been criticized (Brook) as inaccurate since many acute injuries heal within a few weeks and most heal by 6 weeks. Usually of recent onset and commonly associated with a specific injury, acute pain indicates that damage or injury has occurred. Pain is significant in that it draws attention to its existence and teaches the person to avoid similar potentially painful situations. If no lasting damage occurs and no systemic disease exists, acute pain usually decreases along with healing.

In a situation where healing is expected in 3 weeks and the patient continues to suffer pain, it should be considered chronic and treated with interventions used for chronic pain. Waiting for the full 6-month time frame in this example could cause needless suffering. Unrelieved acute pain can affect the pulmonary, cardiovascular, gastrointestinal, endocrine, and immune systems. The stress response (neuroendocrine response to stress) that occurs with trauma also occurs with other causes of severe pain. The stress response generally consists of increased metabolic rate and cardiac output, impaired insulin response, increased production of cortisol, and increased retention of fluids.

Chronic (nonmalignant) Pain

Chronic pain is constant or intermittent pain that persists beyond the expected healing time and that can seldom be attributed to a specific cause or injury. Chronic pain may be defined as pain that lasts for 6 months or longer, although 6 months is an arbitrary period for differentiating between acute and chronic pain. An episode of pain may assume the characteristics of chronic pain before 6 months have elapsed, or some types of pain may remain primarily acute in nature for longer than 6 months.

Suppression of the immune function associated with chronic pain may promote tumor growth. Also, chronic pain often results in depression and disability. Although health care providers express concern about the large quantities of opioid medications required to relieve chronic pain in some patients, it is safe to use large doses of these medications to control progressive chronic pain.

Cancer-Related Pain

Pain associated with cancer may be acute or chronic. Pain resulting from cancer is so ubiquitous that after fear of dying, it is the second most common fear of newly diagnosed cancer patients (Lema).

Pain in the patient suffering from cancer can be directly associated with the cancer (eg, bony infiltration with tumor cells or nerve compression), a result of cancer treatment (eg, surgery or radiation), or not associated with the cancer (eg, trauma). Most pain associated with cancer, however, is a direct result of tumor involvement.

Pathophysiology of Pain

The sensory experience of pain depends on the interaction between the nervous system and the environment. The processing of noxious stimuli and the resulting perception of pain involve the peripheral and central nervous systems.

Peripheral Nervous System

A number of algogenic (pain-causing) substances that affect the sensitivity of nociceptors are released into the extracellular tissue as a result of tissue damage. Histamine, bradykinin, acetylcholine, serotonin, and substance P are chemicals that increase the transmission of pain. The transmission of pain is also referred to as nociception. Prostaglandins are chemical substances thought to increase the sensitivity of pain receptors by enhancing the painprovoking effect of bradykinin. These chemical mediators also cause vasodilation and increased vascular permeability, resulting in redness, warmth, and swelling of the injured area.

Once nociception is initiated, the nociceptive action potentials are transmitted by the peripheral nervous system (Porth, 2002). The first-order neurons travel from the periphery (skin, cornea, visceral organs) to the spinal cord via the dorsal horn. There are two main types of fibers involved in the transmission of nociception. Smaller, myelinated Ad (A delta) fibers transmit nociception rapidly, which produces the initial “fast pain.” Type C fibers are larger, unmyelinated fibers that transmit what is called second pain. This type of pain has dull, aching, or burning qualities that last longer than the initial fast pain. The type and concentration of nerve fibers to transmit pain vary by tissue type.

The same noxious stimulus produces hyperalgesia, and the person reports greater pain than was felt at the first stimulus. For this reason, it is important to treat patients with analgesic agents when they first feel the pain. Patients require less medication and experience more effective pain relief if analgesia is administered before the patient becomes sensitized to the pain.

Chemicals that reduce or inhibit the transmission or perception of pain include endorphins and enkephalins. These morphinelike neurotransmitters are endogenous (produced by the body). Endorphins and enkephalins are found in heavy concentrations in the central nervous system, particularly the spinal and medullary dorsal horn, the periaqueductal gray matter, hypothalamus, and amygdala.

Central Nervous System

After tissue injury occurs, nociception (the neurologic transmission of pain impulses) to the spinal cord via the Ad and C fibers continues. The fibers enter the dorsal horn, which is divided into laminae based on cell type. The laminae II cell type is commonly referred to as the substantia gelatinosa. In the substantia gelatinosa are projections that relay nociception to other parts of the spinal cord.

Nociception continues from the spinal cord to the reticular formation, thalamus, limbic system, and cerebral cortex. Here nociception is localized and its characteristics become apparent to the person, including the intensity. The involvement of the reticular formation, limbic, and reticular activating systems is responsible for the individual variations in the perception of noxious stimuli. Individuals may report the same stimulus differently based on their anxiety, past experiences, and expectations. This is a result of the conscious perception of pain.

The interconnections between the descending neuronal system and the ascending sensory tract are called inhibitory interneuronal fibers. These fibers contain enkephalin and are primarily activated through the activity of non-nociceptor peripheral fibers (fibers that normally do not transmit painful or noxious stimuli) in the same receptor field as the pain receptor, and descending fibers, grouped together in a system called descending control.

The enkephalins and endorphins are thought to inhibit pain impulses by stimulating the inhibitory interneuronal fibers, which in turn reduce the transmission of noxious impulses via the ascending system (Puig & Montes).

The noxious impulses are influenced by a “gating mechanism.” Melzack and Wall proposed that stimulation of the large-diameter fibers inhibits the transmission of pain, thus “closing the gate.” Conversely, when smaller fibers are stimulated, the gate is opened. The gating mechanism is influenced by nerve impulses that descend from the brain.

Factors Influencing the Pain Response

Pain experience is influenced by a number of factors, including; past experiences with pain, anxiety, culture, age, gender, and expectations about pain relief. These factors may increase or decrease the person’s perception of pain, increase or decrease tolerance for pain, and affect the responses to pain.

Pharmacologic Interventions:

Approaches for Using Analgesic Agents
Local Anesthetic Agents
Opioid Analgesic Agents
Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs
Tricyclic Antidepressant Agents and Anticonvulsant Medications

Routes of Administration; Parenteral, Oral, Rectal,Transdermal, Transmucosal, Intraspinal and Epidural

Nonpharmacologic Interventions :

Cutaneous Stimulation and Massage
Ice and Heat Therapies
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation
Distraction
Relaxation Techniques
Guided Imagery
Hypnosis

Nursing Management of Pain

Nursing Assessment of Pain

The factors to consider in a complete pain assessment are the intensity, timing, location, quality, personal meaning, aggravating and alleviating factors, and pain behaviors. The pain assessment begins by observing the patient carefully, noting the patient’s overall posture and presence or absence of overt pain behaviors and asking the person to describe, in his or her own words, the specifics of the pain. The words used to describe the pain may point toward the etiology.

Instruments for assessing the perception of pain:

Pain Intensity Scales

Simple Descriptive Pain Intensity Scale

0: No pain

1: Mild pain

2: Moderate pain

3: Severe pain

4: Very severe pain

5: Worst possible pain

0 – 10 Numeric Pain Intensity Scale

Visual Analog Scale (VAS)

No pain
Pain as bad as it could possibly be

Nurses Role in Pain Management:

Identifying Goals for Pain nursing management
Establishing the Nurse–Patient Relationship and Teaching
Providing Physical Care
Managing Anxiety Related to Pain

NO NURSING DIAGNOSIS OUTCOME NURSING INTERVENTIONS EVALUATION
1 Pain

• Reports relief that pain is accepted as real

and that he or she will receive assistance in

pain relief

• Reports lower intensity of pain and discomfort after interventions implemented

• Reports less disruption from pain and discomfort after use of intervention

• Uses pain medication as prescribed

• Identifies effective pain relief strategies

• Demonstrates use of new strategies to relieve pain and reports their effectiveness

• Experiences minimal side effects of analgesia without interruption to treat side effects

• Increases interactions with family and friends

1. Reassure patient that you know pain is real and will assist him or her in dealing with it.

2. Use pain assessment scale to identify intensity of pain.

3. Assess and record pain and its characteristics: location, quality, frequency, and duration.

4. Administer balanced analgesics as prescribed to promote optimal pain relief.

5. Read minister pain assessment scale.

6. Document severity of patient’s pain on chart.

7. Obtain additional prescriptions as needed.

8. Identify and encourage patient to use strategies that have been successful with previous pain.

9. Teach patient additional strategies to relieve pain and discomfort: distraction, relaxation, cutaneous stimulation, etc.

10. Instruct patient and family about potential side effects of analgesics and their prevention and management.
1. Achieves pain relief

Rates pain at a lower intensity (on a scale of 0 to 10) after intervention
Rates pain at a lower intensity for longer periods

2. Patient or family administers prescribed analgesic medications correctly

States correct dose of medication
Administers correct dose using correct procedure
Identifies side effects of medication
Describes actions taken to prevent or correct side effects

3. Uses nonpharmacologic pain strategies as recommended

Reports practice of nonpharmacologic strategies
Describes expected outcomes of nonpharmacologic strategies

4. Reports minimal effects of pain and minimal side effects of

interventions

Participates in activities important to recovery (eg, drinking fluids, coughing, ambulating)
Participates in activities important to self and to family (eg, family activities, interpersonal relationships, parenting,social interaction, recreation, work)
Reports adequate sleep and absence of fatigue and constipation

Related posts:

Nursing Diagnosis for Acute Pain NANDA Nursing Diagnosis for Acute Pain Related factors R/T trauma, injuring agents (biological, chemical, physical, psychological) Suggestion on using NANDA

Ischemic-strokeA stroke is the condition in which part of the brain abruptly loses its source of nutrients, oxygen and glucose, that are normally delivered to it by way of the vascular system. Normally, with each beat, the heart pumps blood into its major outflow artery called the aorta. The brain is the hungriest and is constantly using these two essential ingredients to fuel its tangled factory of nerve cells and their connections. Any caused can make part of the brain loses source of nutrients, oxigenand glucose. Deprive the brain of this fuel for even a few moments and a person will rapidly lose consciousness. When a person has a stroke, one specific area of the brain stops getting enough of these nutrients. Within seconds to minutes, that specific part of the brain stops functioning properly. Like the word implies, this occurs instantly, in the stroke of almost a second.

The three elements that are common to a stroke are as follows: (1) abrupt onset of focal neurological symptoms, (2) symptoms that can be attributed to losing blood flow in a single artery’s territory, and (3) symptoms that last for at least twenty-four hours.There is a condition would happened before a stroke rise. This disturbance is transient ischemic attack (TIA). A TIA has both the first two elements of a stroke, but the duration of the symptoms is less. Therefore, a TIA is defined as follows: (1) abrupt onset of focal neurological symptoms, (2) symptoms that can be attributed to losing blood flow in a single artery’s territory, and (3) symptoms that last for less than twenty-four hours.

There are different kinds of strokes, and this does not just refer to causes. Doctors make a major distinction between ‘‘ischemic’’ and ‘‘hemorrhagic’’ strokes.  An ischemic stroke is one in which a solid blood clot blocks the flow of blood in an artery to the brain. This clot obstructs the flow of blood so that any brain tissue that normally is fed by this artery is deprived of the nutrients (oxygen and glucose) that are normally supplied. A hemorrhagic stroke is one in which a blood vessel bursts and the blood creates pressure on the brain.

Causes for Stroke

Ischemic stroke, strokes caused by clots that block blood flow, is by far the most common and accounts for approximately 80 percent of all strokes. There are a number of subtypes of ischemic stroke. That are embolic, large vessel atherosclerosis, small vessel “lacunar disease”, and others (arterial dissection, hypercoagulable, venous sinus, thrombosis, vasculitis etc).
Risk factor of embolic stroke :  atrial fibrillation, atherosclerosis of the aorta and carotid arteries, heart attack, cardiomyopathy,  left ventricular aneurysm, PFO, and  endocarditis
Risk factor of atherosclerosis : cigarette smoking, high blood pressure (or ‘‘hypertension’’), diabetes sedentary lifestyle, and elevated blood lipids (such as cholesterol and ‘‘triglycerides). Beside genetic factors play a role as well.
Risk factor of elevated lipid : cholesterol and triglycerides in the vessel
Risk Factors for Large-Vessel and Small-Vessel Disease : Diabetes, hypertension, cigarette smoking, elevated cholesterol and triglycerides, carotid artery stenosis, sedentary lifestyle, genetic factors, age.

Hemorrhagic strokes account for the remaining 20 percent of strokes, and, again, several subtypes exist.That are amyloid angiopathy, hypertensive bleeding, ruptured abnormal blood vessels, aneurysm, arterio-venosus malformation, and others (venosus sinus thrombosis, arterial dissection, coagulopathy, vasculitis, etc).

Risk Factors for Hemorrhagic Stroke :

  • Increasing age
  • High blood pressure
  • Anticoagulant and anti-platelet medications
  • Cerebral aneurysms
  • High blood pressure
  • Binge alcohol drinking
  • Cigarette smoking
  • Genetic factors
  • Family history of ruptured aneurysms
  • AVM
  • Any condition that leads to diminished ability of blood clotting
  1. Intrinsic: medical conditions such as hemophilia or liver disease
  2. Iatrogenic: anticoagulant medications

Signs and Symtomps For Stroke

A stroke involving the right side of the brain will result in a deficit of the left side of the body, and a stroke involving the left side of the brain will affect the right side of the body. So the symptoms in any individual patient are mostly affected by which artery is involved and which side of the brain is involved. The majority of these cables of nerve fibers cross in the brainstem, a
portion of the brain that connects the upper brain (cerebrum) to the spinal cord. The brainstem contains many cells of the nerves called the cranial nerves. These nerves, for the most part, supply motor and sensory function to various structures in the head and upper neck. A stroke that occurs in the brainstem may affect the face and neck on the same side as the stroke but the arms and legs on the opposite side.

A stroke of the cerebellum usually affects the same side of the body. Although this can get confusing, it is not important to know the details at this point. What is important is to know that the specific parts of the body that are involved give important clues about what portion of the brain is affected. With that background, we can now talk about stroke symptoms. The third important fact is that different lobes of the brain are the centers for different functions. For example, the frontal lobes are relatively silent in terms of acute stroke symptoms, at least with regard to weakness or sensory findings. The right parietal lobe tends to be important with spatial relationships, whereas its counterpart on the left is the speech center. The back part, or occipital lobes, is important for vision and interpreting what we see. The cerebellum is the center of balance; as you might imagine, this part of the brain is very well developed in cats and birds.  In an ischemic stroke, a clot blocks flow of blood distal to where the clot sits. The portion of the brain that normally received nutrients from the artery stops functioning. Therefore, whatever functions that part of the brain controls instantly stop. So if a person were to have a clot lodge in the right middle cerebral artery, they would have the onset of left-sided weakness and numbness.
Because this part of the brain is also responsible for spatial relations, sometimes these patients will not recognize someone standing to their left. In addition, they may awake lying in the bed diagonally. A clot blocking flow to the left middle cerebral artery would lead to right-sided weakness and problems with speech, because the left brain is largely responsible for language.
This loss of ability to speak is called aphasia.
A stroke of the cerebellum will lead to imbalance and vertigo, the illusorysense of motion in the environment. If large enough, the patient’s balance can be so poor that they cannot walk at all. Because the cerebellum lies in a very small and constrained portion of the brain, the posterior fossa, headache is common with this kind of stroke. A stroke involving the anterior cerebral artery would preferentially affect the leg more than the face or the arm because that vessel supplies blood to the middle portion of the brain, where the leg is mostly represented on the homunculus. Thus, a left anterior cerebral artery stroke might involve the right leg more than other body parts on the right.

Nursing Assesment  Nursing care Plans For Stroke

Because strokes are more important in older patients, the person’s age is of obvious significance. The paramedics, nurses, and doctors will all try to piece together what the specific symptoms are, precisely when they started, how they evolved, what the patient was doing at the onset, and all of the other relevant details of the event. Essentially, they are trying to exactly recreate the sequence of events.
Seemingly minor details can be very important in this part of the history. For example, did the patient go to sleep normal and then wake up with rightsided weakness? If so, how long did they sleep? Did the left-sided facial droop precede the left arm weakness by thirty minutes or did both start together? Has this patient with a migraine headache ever had double vision with a previous migraine or not? In fleshing out the story here, the doctor is acting like a detective, trying to get all the facts to sort out which are relevant and which are not. In many ways, this process of differential diagnosis is much like a policeman trying to solve a crime.
Doctors will ask about associated symptoms. For example, the presence of fever suggests the possibility of a heart infection called endocarditis that might have caused an embolism to the brain. The fever also alerts the clinician that perhaps this is some sort of infection that is unmasking an old stroke. Any associated symptoms could be significant. Shortness of breath might indicate heart failure or pneumonia. Neck pain could indicate a dissection of one of the arteries that lead into the Circle of Willis. Vomiting, double vision, or vertigo suggests a stroke in the cerebellum or brainstem. A severe headache could indicate a subarachnoid hemorrhage, among other possibilities.

Diagnostic Tests for Stroke Patients (not all are performed initially)
In all patients :

  • Blood tests: blood count, serum glucose and chemistries, kidney function, clotting
  • tests
  • ECG
  • Brain imaging, usually CT scan or MRI
  • Telemetry to monitor for arrhythmias
  • Carotid ultrasound (or other test for carotid artery blockage)

In some patients :

  • Cerebrovascular imaging
  • Chest x-ray
  • Echocardiogram
  • Lumbar puncture
  • Urinalysis

Nursing Diagnoses Nursing Care Plans For Stroke:

  • Impaired verbal communcation
  • Impaired physical Mobility
  • Anxiety [specify level]
  • Deficient knowledge regarding diagnosis, prognosis, and treatment options
  • Risk for disturbed Body Image
  • Risk for ineffective Sexual Pattern
  • Self-Care Deficit [specify]
  • Disturbed Sensory Perception (specify)
  • Disturbed Thought Processes
  • Risk for Injury/Trauma

Silabus Sistem Informasi Kesehatan by sikstrada